“Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits”
PENDAHULUAN
Sejarah adalah peristiwa yang telah terjadi
pada masa lampau yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena
itu dalam mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits, baik
perkembangan riwayat-riwayatnya sanadnya ataupun matannya harus dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah karna benar atau tidaknya suatu peristiwa
sangat di tentukan oleh kebenaran ilmiahnya.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits, baik
perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, amat di perlukan karena di
pandang satu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan.
Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits dan kaitannya uraian-urain di atas
maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini adalah masa kelahiran hadits,
masa penulisan hadits, masa pembukuan hadits, masa pentashihan hadits, masa
penkajian hadits.
PEMBAHASAN
A.
Hadist Pada Masa Rasullah SAW, Periode Abad I H
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa
At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[1]
1.
Cara Rasul dalam Menyampaikan Hadist
Umat islam pada
masa ini dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasul SAW sebagai sumber
hadist. Allah berfirman QS Al-Najm (53): 3-4


Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanya wahyu yang diwayuhkan (kepadanya)
Kedudukan nabi
yang demikian ini menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai
refrensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan
rasullah ini. Mereka proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala
sesuatu yang tidak mereka ketahui. Mereka
menaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri
dimaksudkan agar keberagamaannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan. Menurut
riwayat Bukhori, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk melahirkan rasa ridak
jenuh dikalangan sahabat Rasul menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara,
sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.[2]
Tempat yang biasa digunakan Rasullah bervariasi, seperti di masjid, rumahnya
sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di
rumah).[3]
a)
Ada beberapa cara rasul dalam menyampaikan hadist kepada para
sahabat, yaitu :
melalui jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majelis al-‘ilmi. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist, sehingga mereka berusahan berkonsentrasi dan antusias dalam mengikuti kegiatan dan ajaran Nabi SAW.
melalui jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majelis al-‘ilmi. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist, sehingga mereka berusahan berkonsentrasi dan antusias dalam mengikuti kegiatan dan ajaran Nabi SAW.
b)
Dalam banyak kesempatan rasul juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikan kepada oranag lain. Hal ini
karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya
beberapa, baik karena disengaja oleh rasul atau secara kebetulan para sahabat
yang hadir hanya beberapa saja, bahkan hanya satu orang.
c)
Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji
wada’ dan futuh makkah.
2.
Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Ada beberapa
orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadist dari
Rasul SAW. Mereka itu adalah :
a)
Sahabat yang tergolong Al- Sabiqunal Awwalun (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibn mass’ud). Karena lebih
awal masuk islam daripada sahabat yang lain.
b)
Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul) seperti Aisyah dan Ummu
salamah. Secara pribadi dekat dengan Rasullah, hadis yang diterima berkaitan
soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c)
Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasullah seperti Abdullah Amr
ibn Al- Ash.
d)
Sahabat yang meskipun tidak lama dekat dengan rasullah tetapi
selalu bertanya kepada sahabat yang lain dengan sungguh-sungguh, seperti Abu
Hurairah.[4]
e)
Para sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasul dan banyak
bertanya kepada sabat yang lain. Seperti abdullan ibn Umar, Anas ibn Malik, dan
Abdullah bin Abbas.[5]
B.
Hadist Pada Masa Sahabat, Periode Abad ke II
Periode kedua
sejarah perkembangan hadist, adalah masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar
tahun 11H sampai 40 H. masa ini juga disebut masa sahabat besar. Oleh para
ulama masa ini disebut masa “al- tsabut wa al- iqlal min al-riwayah” yakni masa
yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan. Karena pada masa ini sahabat
masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al- qur’an.
1.
Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa
menjelang akhir kerasullanya, RAsullah berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh pada al-qur’an dan hadist serta mengajarkannya kepada orang
lain.
آيَةً وَلَوْ عَنِّى بَلِّغُوا
“Sampaikanlah dariku
walau hanya satu ayat” (HR.
Bukhari)
Pesan Rasullah
sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang
tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul dibuktikan
dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
2.
Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist
Kehati-hatian
dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadist
merupakan sumber tasyri’ setelah al-qur;an, yang harus terjaga dari
kekeliruannya sebagaimana al- qur’an. [6]
Menurut Al-
Dzahabi, abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadist secara
hati-hati. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang
nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia
menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan pada al-qur’an dan hadist. Al- Mughrah
menyebutkan, bahwa Rasullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta
supaya Al-Mughirah menghadirkan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya
diterima.[7]
Sikap
kehati-hatian juga ditujukan oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu
Bakar, suka meminta diajukannya saksi jika ada yang meriwayatkan hadist.[8]
Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali ia pun merima periwayatan tanpa
syahid dari orang tertentu, seperti hadist-hadist dari Aisyah. Sikap kedua
sahabat juga diikuti oleh Usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara diatas,
juga terkadang mengujinya dengan sumpah.[9]
Pada masa ini
belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam satu kitab seperti
halnya Al-Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau
kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari al-qur’an.[10]
3.
Periwayatan Hadist dengan Lafaz dan Makna
Ada dua jalan
para sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW :
a)
Periwayatan Lafzi
Periawayatan
lafzhi adalah periwayatan hadist yang redaksinya atau matannya persis seperti
yang diwurudkan oleh Rasullah. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal
benar apa yang disabdakan rasul SAW. Menurut ‘Ajjaj Al- Khatib, sebernarya,
seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
maknawi.[11]
Di anatara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadist
dengan jalan lafzi adalah Ibn Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang
membacakan hadist yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya
dari Rasul SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika
seorang sahabat menyebut hadist tentang lima prinsip dasar Islam dengan
meletakkan puasa ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang di dengarnya dari
RasullahSAW.
b)
Periwayatan Maknawi
Periwayatan
Maknawi adalah periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan Rasul,
akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasullah SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Periwayatan
dengan maknawi mengakibatkan munculnya hadist-hadist yang redaksinya antara
satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maknanya tetap sama. Hal
ini sangat tergantung pada sahabat dan generasi berikutnya dalam meriwayatkan
hadist-hadist tersebut.[12]
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat berhati-hati. Ibnu
Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadist ada istilah-istilah tertentu
yang digunakannya untuk menguatkan penukillannya, seperti dengan kata qalla rasull SAW, hakadza (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul SAW. qaribban min
hadza[13]
C.
Hadist Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini
al-qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah
dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ur Rasyidin, khususnya masa
kekhalifahan Usman para sahabat menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist. Penyebaran para sahabat
kebeberapa wilayah, masa ini juga dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan
hadist (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
1.
Pusat Pembinaan Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadist, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadist. Kota-kota tersebut adalah Madinah Al-
Munawaraah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus,
Yaman dan Khurasan.
Pusat pembinaan
pertama adalah Madinah, karena di sisnilah Rasul menetap setelah hijrah.
Sahabat yang menetap disini, diantaranya khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurairah,
Siti Aisyah, Abu sa’id Al-Khudri dengan menghasilkan pembesar tabi’in, seperti
sa’id ibn Al-Musyayyab, ‘Urwah Ibn Zubair, Ibn SyihabAl-Zuhri.
Diantara
sahabat yang yang membina hadist di Makkah tercatat nama-nama, sperti Mu’adz
ibn jabal, ‘Atab ibn Asid, ‘Utbah ibn Al- Harist.[14]
Diantara para tabi’in yang muncul tercatat nama Mujtahid ibn Jabar, Atha’ ibn
Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan ‘Ikrimah maula Ibn Abbas.[15]
2.
Pergolakan Politik dan pemalsuan Hadist
Pergolakan ini
sebenarnya terjadi pada masa sahabat, stelah terjadinya perang jamal dan perang
siffin yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Ali Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan beralarut-larut dengan terpecahnya umat islam dalam
beberapa kelompok ( Khawrij, Syia’ah, Mu’awiyah,dan golongan mayoritas yang
tidak terrmasuk dalam ketiga golongan tersebut)
Langsung atau
tidak, pergolakan politik sperti di atas cukup memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan hadist berikutnya. Pengaruh langsung dan bersifat
negatif, ialah dengan munculnya hadist palsu (maudhu’) untuk mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan
lawan-lawannya. Adapun pengaruh positif, adalah adanya rencana dan usaha
dikodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya pemusnahan dan pemalsuan, sebagai
akibat dari pergolakan poltik tersebut.[16]
Ø Cara-cara untuk mengenali hadis palsu adalah
seperti berikut :
1. Bertentangan dengan ayat Al-Quran
من ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو و الولد فى الجنة
Maksudnya : Barangsiapa mempunyai seorang anak kemudian menamakannya Muhammad dengan niat untuk mengambil berkat, maka dia dan anaknya akan masuk syurga.
-Hadis ini kontra dengan firman Allah SWT,
وبشر الذين ءامنو وعملوا الصلحت أن لهم جنت تجرى من تحتها الأنهار
Maksudnya : Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa mereka disediakan syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. (al-Baqarah ayat 25)
1. Bertentangan dengan ayat Al-Quran
من ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو و الولد فى الجنة
Maksudnya : Barangsiapa mempunyai seorang anak kemudian menamakannya Muhammad dengan niat untuk mengambil berkat, maka dia dan anaknya akan masuk syurga.
-Hadis ini kontra dengan firman Allah SWT,
وبشر الذين ءامنو وعملوا الصلحت أن لهم جنت تجرى من تحتها الأنهار
Maksudnya : Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa mereka disediakan syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. (al-Baqarah ayat 25)
2. Bertentangan dengan hadis sahih
عليكم بالوجوه الملاح والحدق السود فان الله يستحي أن يعذب مليحا بالنار
Maksudnya : Hendaklah kamu sekalian memiliki istri yang manis rupanya dan dari keturunan bangsawan, maka sesungguhnya Allah itu enggan mengazab orang yang manis di dalam neraka.
-Kontra dengan hadis sahih,
تنكح المرأة لأربع , لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها , فاظفر بذات الدين تربت يداك
Maksudnya : Perempuan itu dikawini kerana empat perkara : yaitu kerana hartanya, keturunannya, kecantikkannya dan kerana agamanya. Oleh itu pilihlah perempuan yang beragama, niscaya berbahagialah kamu. ( Mutafaq ‘alahi)
3. Di dalam hadis tersebut terdapat unsur-unsur dusta dan batil (tidak benar).
اذا عطس الرجل عند الحديث فهو دليل صدقه
Maksudnya : Apabila seseorang lelaki itu bersin pada ketika meriwayatkan/ membacakan hadis maka itu menunjukkan kebenaran tentang hadis yang di riwayat / dibacakannya.
4. Terdapat unsur-unsur penghinaan, jenaka dan gurauan
ان الله ملكا من حجارة يقال له عمارة ينزل على حمار
من حجارة كل يوم فيسعر الأسعار ثم يعرج
Maksudnya : Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berasal daripada batu. Ia disebut sebagai imarah. Ia menunggang himar yang juga berasal daripada batu. Apabila ia turun ke bumi setiap hari, haarga barangan akan naik. Setelah itu dia naik semula ke langit.
5. Hadis itu tidak sesuai dengan akhlak Rasulullah saw
حضر رسول الله صلى الله عليه وسلم مجلسا للفقراء ورقص حتى شق قميصه
Maksudnya : Rasulullah saw menghadiri majlis yang (diadakan khusus bagi orang fakir ) kemudian baginda saw menari dan berjoget sehingga koyak bajunya.
6. Bertentangan dengan ilmu kedoktoran dan etika kebersihan
أكل السمك يوهن الجسد
Maksudnya : Memakan ikan itu melemahkan tubuh..
7. Hadis yang mencela bangsa Habsyah dan Sudan
رأى طعاما فقال لمن هذا قال العباس للحبشة أطعمهم
قال لا تفعل انهم جاعوا سرقوا وان شبعوا زنوا
Maksudnya : Nabi saw melihat suatu makanan, kemudian baginda saw bertanya : Untuk siapakah makanan ini ? Kemudian Abbas r.a menjawab : Untuk orang-orang Habsyah. Kemudian Nabi saw bersabda : Janganlah kamu hidangkan makanan ini kepada mereka, sesungguhnya bila mereka dalam kenyang tentu mereka akan berzina dan bila dalam keadaan lapar mereka akan mencuri.
D.
Masa Tadwin Hadist
Secara bahasa, tadwin diterjemahkan
dengan kumpulan shahifah (mujtama’al-shuhuf)[17].
Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Menurut Al-
Zahrani Tadwin ialah mengikat mengikat yang berserak-serakan dan
mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran.[18]
Sementara yang dimaksud dengan tadwin hadis pada periode ini adalah pembukuan
(kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara.
Pada masa khalifah Umar ibn Abdul
aziz (khalifah kedelapan dari khalifah bani umayah), melalui intruksinya kepada
para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadist dari para
penghafalnya. Khalifah mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar
mengumpulkan hadist-hadist yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari
(muri kepercayaan Siti Aisyah) dan Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Intruksi
yang sama ia tunjukkan kepada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, yang dinilainya
sebagai orang yang menrima hadist lebih banyak daripada yang lain.[19]
Sekurang-kurangnya ada dua hal pokok Umar ibn Aziz mengambil sikap seperti ini.
Pertama, ia khawatir hilangnya
hadist-hadist dengan meninggalnya ulama dalam medan perang. Abu Bakr Al- Hazm
berhasil mengumpulkan, yang menurut ulama kurang lengkap. Sedang ibn Syihab
Al-Zuhri, berhasil mneghimpunnya, yang dinilai ulama oleh para ulama lebih
lengkap. Kedua, khatir tercampurnya
hadist shaih dengan hadist palsu.
Ada ulama ahli hadist yang berhasil
menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu
Malik ibn Anas (wafat 93-179) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun
pada tahun 143 H atas permintaan khalifah Al-Mansur. Par ulama menilai Muwatha’
ini sebagai kitab tadwin pertama dan banyak dijadika rujukan oleh para muhaddis
selanjutnya.
E.
Masa Seleksi Dan Penyempurnaan Serta Pengembangan Sistem Penyusunan
Hadist
1.
Masa Penyaringan Hadist
Masa seleksi
atau penyaringan hadist terjadi krtika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani
Abbas, khususnya sejak masa A-Makmun sampai dengan masa Al-Muktadir (sekitar
201-300).
Pada masa ini
para ulama sungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang diterimanya.
Melalui kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan
hadis-hadis yang dha’if (lemah) dari hadis-hadis yang shahih, dan hadis-hadis
yang mauquf (periwayatan yang berhenti pada sahabat) dan maqthu (terputus) dari
yang marfu’ (sanadnya sampai pada Nabi SAW), meskipun dalam penelitian
berikutnya masih ditemukan terselipnya hadist yang dha’if pada kitab-kitab
shahih pada mereka.
Berkat keuletan
dan keseriusan para ulama pada masa ini maka bermunculanlah kitab-kitab hadist
yang hanya memuat hadist-hadisr shahih. Kitab tersebut pada perkembangannya
kemudian dikenal dengan kutub Al- Sittah (kitab induk yang enam)[20]
Secara lengkap
kitab-kitab yang enam diatas, diurutkan sebgai berikut:
a)
Al- Jami’ Al-Shahih susunan Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn
Ibrahim ibn Al Mughirah ibn Bardzibah Al-Bukhari, yang terkenal dengan Imam
Bukhari (194-252 H)
b)
Al- Jami’ Al-Shahih susunanAbu Husain Muslim ibn Al-Hajjaj
Al-Kusairi Al-Nasaiburi, yang dikenal dengan Imam Muslim(204-261 H)
c)
Al-Sunan susunan Abu Daud Sulaiman ibn Al-Asy’as ibn Ishaq Al-Sijistani
(202-275 H)
d)
Al-Sunan susunan Abu Isa Muhammad ibn Surah Tirmidzi (200-279 H)
e)
Al-Sunan susunan Abu Abdilah ibn Yazid ibn Majjah(207-273 H)[21]
2.
Masa Pengembangan Dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Hadist
Penyusunan pada
masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan dengan beberapa variasi
pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Diantar usaha itu adalah
mengumpulkan hadisr-hadist shahih Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan Muhammad
ibn Abdillah Al-Jauzaqi dan ibn Al-Furat (w. 414 H). mereka juga mengumpulkan
isi kitab hadist yang enam, seperti yang dilakukan Abd Al-Haq ibn Abd Al-Rahman
Al-Asybili (terkenal dengan Al-Kharrat w.583), Al-Fairuz Abadi, ibin Al-Atsir
Al-Jazari. Ada yang mengumpulkan hadist menegnai hukum seperti yang dilakukan
oleh Daruqutni, Al Baihaqi,Ibn Daqiq Al-Id, Ibn Hajar Al-Ashqalani, dab Ibn
Qudamah Al-Maqdisi.
Daftar Pustaka
Suparata, Munzier, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Yusuf, Muhammad Zein, Pengantar Ilmu Hadist, Duta Grafika offset, 1986
Khaeruman, Badri, ulum Hadsit, Pustaka Setia, Bandung, 2010
[1] M. Hasbi Ashiediqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta : Bulan Bintang. 1987. hal 56
[2] Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu
Hadist. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hal 71
[3] Ibid, hal 72
[4] Ibid, hal 74
[5] Muhammad Jamal Al- Din Al- Qasimi, Qawa’id Al Tahdits min funun
Musthalah Al-Hadist,, (Bierut: Dar Al-kutub Al- ‘ilmiyah, 1979), hlm. 72-74.
Lihat juga Musthafa al- Siba’I, op.cit, hlm.62 dan ‘Ajjaj al Khatib, Ushul
Hadist ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beiruy: Dar Al-Fikr, 1981), cet. Ke-4,
hlm.71-72.
[6] Ajjaj Al Khatib, Al- Sunnah Qabla Al-tadwin, hlm: 92-93.
[7] Al hakim, hlm 15
[8] Sikap-sikap Umar dalam hal ini bisa dilihat pada Hadis-hadis
riwayat Bukhari, Muslim, Malik. Lihat Ajjaj Al- Khatib, ibid., hal. 113-116
[9] Ibid. Lihat juga Al-Khatib Al Baghdadi, Al- kifayah fi ilmi
Al-Riwayah, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1972), hlm. 68.
[10] Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu
Hadist. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), op.cit. hal 82
[11] Al- Khatib Al Baghdadi, Al- kifayah fi ilmi Al- Riwayah, op.cit,
hlm.85
[12] Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu
Hadist. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 83-84
[13] Ajjaj Al- Khatib, op.cit., h.130. lihat jyga A-Khatib Al-Baghdadi Jami’
li Akhlaq Al-Rawi wa Adabi Al-sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah,t.t.)
hlm.106
[14] Al- Hakim, op.cit, hlm. 192
[15] ‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm.234
[16] Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu
Hadist. Op.cit., hlm.88
[17] Al- Fairuz abadi, Al- Muhith
[18] Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, tadwin Al-Sunnah Al-Naba-wiyah,
Nasy’atihi wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al- Qarni Al-Tasi’
Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), cet. I, hlm. 73.
[19] Musthafa Al-Siba’I, hlm. 104
[20] Subhi Al- Shalih, hlm.48
[21] Ibid, hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar