"METODE PERIWAYATAN HADITS"
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hadis
nabi diyakini oleh umat islam sebagai sumber ajaran islam kedua setelah
Al-Quran.Sebagai sumber ajaran,tentunya hadis nabi dipelajari umat dari tingkat
yang paling dasar hingga yang paling tinggi,terutama berkaitan dengan berbagi
kajian yang berhubungan dengan hadis itu.
Berdasarkan
kebutuhan mata kuliah ulumul hadis,maka kami menyusun makalah yang berjudul
“Metode Periwayatan Hadis”.
B.Rumusan Masalah
1.Apa
yang dimaksud penerimaan dan periwayatan
hadis?
2.Bagaimana
metode periwayatan hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Penerimaan hadis
Para
ulama’ ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadis dari seseorang guru dengan menggunakan metode peneriamaan hadis”disebut al-tahamul.Sedangkan
penyampaian atau meriwayatkan hadis kepada orang lain,disebut dengan al-ada’.
Jumhur
ulama ahli hadis berpendapat,bahwa penerimaan periwayatn suatu hadis oleh anak
yang belum sampai umur(belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis
tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf.hal ini
didasarkan kepada keadaan para sahabat,tabiin,dan ahli ilmu setelahnya yang
menerima periwayatan hadis.Seperti Hasan,Abdullah bin Zubair,Ibnu Abbas,Nu’man
bin Basyir,Salib bin Yazid,dan lain-lain,dengan tanpa mempermasalahkan apakah
mereka telah baligh atau belum.Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas
minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul,sebab permasalahan ini tidak
terlepas dari ketamyizan anak tersebut.
Al-Qadhi
Iyadh menetapkan,bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling
tidak sudah berusia lima tahun,karena pada usia ini anak sudah mamapu menghafal
apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal.Pendapat ini didasarkan pada
hadis riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-Ruba’i:
عقلت من النبي صلى الله عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو وأنا ابن
خمس سنين
“Saya ingat Nabi SAW.meludahkan air yang
diambilnya dari tima kemukaku,sedang pada saat itu,saya berusia lima tahun”.
Abu
Abdullah Alzuba’i mengatakan,bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis
pada saat usia mereka telah mencapai usia 10 tahun,sebab pada usia ini akal
mereka dianggap sempurna ,dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan
untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa.
Terjadinya
perbedaan pendapat ulama mengenai ketamyizan seseorang tidak terlepas dari
kondisi yang mempengaruhikepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya.Tetapi
pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan,dan mampu menjawab
pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal,dan nmengingat-ingat
hafalannya.
Mengenai
penerimaan hadis bagi orang fakir dan orang fasik,jumhur ulama ahli hadis
menganggap sah,asalkan hadis tersebut diriwayatkan pada orang lain,pada saat
mereka telah masuk islam dan bertaubat.Alasan yang mereka kemukakan adalah
banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar
sabda nabi SAW sebelum mereka masuk islam dan bertobat.Alasan mereka kemukakan
adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang
mendengar sabda Nabi Muhammad SAW sebelum mereka masuk islam.Di antara sahabat
yang mendengar sabda rosullullah,pada waktu belum masuk islam adalah sahabat
Zubair.Dia pernah mendengar rosullullah membaca surat At-thur pada waktu
sembahyang magrib,ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang
Badar,dalam keadaan masih kafir.Akhirnya dia masuk islam.Bila penerima hadis
oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk islam dapat
diterima,maka dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang
diriwayatkannya setelah dia bertobat.
B.Cara penerimaan hadis dan
penyampaian hadis
Ada
delapan macam kaifiyah tahammul wal ada’ atau sistem dan cara penerimaandan
penyampaian hadis,yaitu:
1.Al-Sima’
Yakni
suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan
gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.Menurut
Jumhur Ulama ahli hadis,bahwa cara ini adalah cara penerimaan hadis paling
tinggi tingkatannya.Sebagian juga mengatakan Assima’ yang dibarengi Alkitabah
mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat.Karena terhindar dari kesalahan
dan terjamin kebenarannya dibanding dengan cara-cara lain.
Seseorang
yang menerima dengan cara sima’i,biasanya penyampaiannya menggunakan kalimat
atau lafadz:
حدثنا(seseorang telah menceritakan
kepada kami)
انبأنا(seseorang telah memberitakan
kepada kami)
سمعت(saya telah mendengar)
قال لي (Seseorang telah berkata
kepadaku)
ذكرلي(seseorang telah menuturkan
kepadaku).[1]
2.
Al-Qira’ah, artinya membaca kepada syeikh
Yakni
suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits di hadapan
gurunya, baik dia sendiri yang membacakan, maupun orang lain sedang sang guru
mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak dan dia
memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah.[2]
Kalimat-kalimat
yang digunakan untuk menyampaikan hadis dengan cara qira’ah,biasanya adalah:
قرأ على فلان وانا اسمع(Dibacakan oleh seseorang dihadapan(guru ),dan saya mendengar)
عليهقرأت (saya telah membacakan dihadapannya)
او أخبرنا قراءة عليهحدثنا(telah menceritakan dan mengabarkan kepadaku secara pembacaan
dihadapannya).[3]
3. .
Al-Ijazah
Yakni
seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipaun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya.Seperti:
أجزت لك أن تروي عنّي(Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku).
Para
ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebagai cara untuk
meriwayatkan hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadits
dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Adapun ulama
yang membolehkan cara al-ijazah ini menetapan syarat bahwa sang guru
harus benar-benar mengerti tentang hadits atau kita yang diijazahkan, dan
naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga seolah-olah naskah
tersebut adalah aslinya. Selain itu, guru yang memberikan ijazah itu
benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadi Iyad membagi al-Ijazah
menjadi 6 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan 1 macam lagi,
sehingga menjadi 7 macam, yaitu :
a.
Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah
kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti ini
diperbolehkan menurut jumhur.
b.
Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk
kamu riwayatkan”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang
diperbolehkan.
c.
Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepada kaum
muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir).
d.
Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang
tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid.
e.
Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi
yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
f.
Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima
ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
dariku sesuatu yang akan kudengarkan”. Cara seperti ini dianggap batal.
g.
Bentuk ijazah al-mujaz seperti perkataan guru “Aku ijazahkan kepadamu
ijazahku”. Bentuk seperti ini diperbolehkan.[4]
4. . Al
Munawalah
Yakni
seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab kepada
muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al munawalah ialah
seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari
guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah
hadist hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist
ini dariku dan saya ijazahkan kepada mu untuk diriwayatkan”.
Al
munawalah mempunyai dua bentuk:
1) Al munawah dibarengi dengan ijazah.
Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab nya yang telah ia riwayatkan atau
naskah nya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu
ia katakan kepada murid nya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”.
Termasuk al almunawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah
yang diperoleh dari guru nya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan
kepada murid nya untuk diriwayatkan dari nya. cara ini menurut Al Qadhi iyad
termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist
hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasa nya menggunakan
redaksi: انبأنى, انبأنا “seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami).
2) Al munawalah tanpa dibarengi dengan
ijazah, seperti perkataan guru kepada murid nya ”ini hadist saya” “inilah
adalah hasil pendengaran ku atau dari periwayatan ku” dan tidak mengatakan
“riwayatkan lah dariku atau saya ijazahkan kepada mu. Menurut kebanyakan ulama
al munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan
berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi انبأنى, انبأنا
“ seseorang telah memberikan kepada ku/kami) .[5]
Lafad
yang biasa digunakan ,ketika diberi ijazah juga,yaitu:
هذا سماعي او رواتي عن فلان فاروه (ini adalah hasil
pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang,riwayatkanlah).
Lafad
munawalah yang tidak disertai ijazah,yaitu:
هذا سماعي
او رواتي (ini adalah hasil pendengaranku
atau berasal dari periwayatanku).[6]
5. Al Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau
menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadist nya guna diberikan kepada
murid yang ada dihadapan nya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat
melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikan nya.
Al mukatabah ada dua macam:
1)
Al mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru
menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada murid nya disertai dengan
kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan
kepada mu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al mukatabah dalam
bentuk ini sama halnya dengan al munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni
dapat diterima. Contoh: أجزت لك ما كتبته إلٌك, أجزت ما كتبت به إلٌك “ku izinkan apa apa yang telah aku tulis
kepada mu”
2)
Al mukatabah yang tidak dibarengi dengan al ijazah, yakni guru
memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai
perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al mukatabah dalam bentuk ini
diperselisihkan oleh para ulama Syafi‟iyah dan ulama usul menganggap sah
periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap tidak sah.
Contoh: قال
حدثنا فلان “telah memberitakan
seseorang kepada ku”.
6. Al I‟lam
Yakni pemberitahuan seseorang kepada
murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang
(guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya
untuk meriwayatkan nya. sebagiab ulama
ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al Shalah menetapkan tidak sah
meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah
mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli
hadist, ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya.
Contoh: أعلمنى فلان قال حدثنا “seseorang telah memberitahukan kepada ku:
“telah berkata kepada kami…”
7. Al Wasiyah
Yakni seorang guru ketika akan meninggal
atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist
atau kitab nya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist
dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara ibnu sirin membolehkan
mengamalkan hadist yang diriwayatkan nya atas jalan wasiat ini. Orang yang
diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan
redaksi حدثنى
فلان بكذا (seseorang telah
memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu
dengannya.
Yakni, seseorang memperoleh hadist
orang lain dengan mempelajari kitab kitab hadist dan tidak melalui cara al
sama‟, al ijazah, ataupun al munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai
cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak
memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi‟I dan segolongan
pengikut nya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatan nya melalui
cara ini. Ibnu al Shalah menagtakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan
mengamalkan nya bila diyakini kebenaran nya.
Lafadz lafadz yang digunakan, ialah
seperti: قرأت بخط
فلان (saya telah membaca khath
seseorang).[7]
B.Periwayatan Hadis
Sebagaiman yang telah kita tulis diatas, bahwa
al ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh
karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu
menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidak nya suatu
hadist juga sangat tergantung pada nya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur
ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadist. Yakni sebagai
berikut:
1.
Islam
Pada
waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi harus muslim. Dan menurut
ijma‟, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja,
kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalh ini
bias kita bandingkan dengan firman Allah:
ٌا أٌها
الذٌن امنوا إن جاءكم فاسق بنٌإ فتبٌنوا أن
تصٌبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمٌن Artinya: Hai orang orang yang beriman,
apabila dating kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatan mu itu. (Al
Hujurat 49: 6)
2.
Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan
hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist
Rasulullah:
رفع القلم عن ثلاثة
عن المجنون المغلوب عن المجنون المغلوب على عقله حتى ٌفٌق و عن النائم حتى ٌستٌقظ و عن الصبً حتى ٌحتلم Artinya: Hilang kewajiban menjalankan
syari‟at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang
yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan
Nasi‟)
3.Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah
suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang
mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri
sendiri dengan kebenaran nya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian
dosa kecil, dan menjauhkan diri dari
hal hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga
kepribadiannya.
4.
Dhabit
Dhabit
ialah:
تٌقظ الراوى حٌن تحمله
و فهمه لما سمعه و حفظه لذالك من وقت التحمل إلى وقت الاداء “teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu
hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikannya”
Cara
mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I‟tibar terhadap berita berita nya
dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada
yang mengatakan, bahwa disamping syarat syarat yang sebagaimana disebutkan
diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang
disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist
hadist yang lebih kuat ayat ayat Al Qur‟an.[8]
[1] Munzier
Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:195-199
[2]M. Ajjaj
Al-Khatib,Ushul Al-hadis Ulumuhu wa Mustholauhu,Dar Al-Fikri,1981,hal:234
[3] Badri
Khaeruman,Ulum Al-hadis,Pustaka Setia,Bandung,2010,hal:85
[4] Munzier
Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:200-201
[5]Munzier
Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:201-202
[6]Badri
Khaeruman,Ulum Al-hadis,Pustaka Setia,Bandung,2010,hal:86
[7] Munzier
Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:202-204
[8] Munzier
Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:204-206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar