Artikel terkait

Rabu, 03 Desember 2014

Ulumul Hadits: Makalah "METODE PERIWAYATAN HADITS"



"METODE PERIWAYATAN HADITS"
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
            Hadis nabi diyakini oleh umat islam sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-Quran.Sebagai sumber ajaran,tentunya hadis nabi dipelajari umat dari tingkat yang paling dasar hingga yang paling tinggi,terutama berkaitan dengan berbagi kajian yang berhubungan dengan hadis itu.
            Berdasarkan kebutuhan mata kuliah ulumul hadis,maka kami menyusun makalah yang berjudul “Metode Periwayatan Hadis”.
B.Rumusan Masalah
            1.Apa yang dimaksud penerimaan dan  periwayatan hadis?
            2.Bagaimana metode periwayatan hadis?

BAB II
PEMBAHASAN

A.Penerimaan hadis
            Para ulama’ ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan metode peneriamaan hadis”disebut al-tahamul.Sedangkan penyampaian atau meriwayatkan hadis kepada orang lain,disebut dengan al-ada’.
            Jumhur ulama ahli hadis berpendapat,bahwa penerimaan periwayatn suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur(belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf.hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat,tabiin,dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis.Seperti Hasan,Abdullah bin Zubair,Ibnu Abbas,Nu’man bin Basyir,Salib bin Yazid,dan lain-lain,dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum.Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul,sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.
            Al-Qadhi Iyadh menetapkan,bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun,karena pada usia ini anak sudah mamapu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal.Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-Ruba’i:
عقلت من النبي صلى الله عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو وأنا ابن خمس سنين
 “Saya ingat Nabi SAW.meludahkan air yang diambilnya dari tima kemukaku,sedang pada saat itu,saya berusia lima tahun”.
            Abu Abdullah Alzuba’i mengatakan,bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai usia 10 tahun,sebab pada usia ini akal mereka dianggap sempurna ,dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa.
            Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ketamyizan seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhikepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya.Tetapi pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan,dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal,dan nmengingat-ingat hafalannya.
            Mengenai penerimaan hadis bagi orang fakir dan orang fasik,jumhur ulama ahli hadis menganggap sah,asalkan hadis tersebut diriwayatkan pada orang lain,pada saat mereka telah masuk islam dan bertaubat.Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda nabi SAW sebelum mereka masuk islam dan bertobat.Alasan mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi Muhammad SAW sebelum mereka masuk islam.Di antara sahabat yang mendengar sabda rosullullah,pada waktu belum masuk islam adalah sahabat Zubair.Dia pernah mendengar rosullullah membaca surat At-thur pada waktu sembahyang magrib,ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar,dalam keadaan masih kafir.Akhirnya dia masuk islam.Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk islam dapat diterima,maka dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat.
B.Cara penerimaan hadis dan penyampaian hadis
            Ada delapan macam kaifiyah tahammul wal ada’ atau sistem dan cara penerimaandan penyampaian hadis,yaitu:
1.Al-Sima’
            Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.Menurut Jumhur Ulama ahli hadis,bahwa cara ini adalah cara penerimaan hadis paling tinggi tingkatannya.Sebagian juga mengatakan Assima’ yang dibarengi Alkitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat.Karena terhindar dari kesalahan dan terjamin kebenarannya dibanding dengan cara-cara lain.
            Seseorang yang menerima dengan cara sima’i,biasanya penyampaiannya menggunakan kalimat atau lafadz:
حدثنا(seseorang telah menceritakan kepada kami)
انبأنا(seseorang telah memberitakan kepada kami)
سمعت(saya telah mendengar)
قال لي (Seseorang telah berkata kepadaku)
ذكرلي(seseorang telah menuturkan kepadaku).[1]
2. Al-Qira’ah, artinya membaca kepada syeikh
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan, maupun orang lain sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak dan dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah.[2]
Kalimat-kalimat yang digunakan untuk menyampaikan hadis dengan cara qira’ah,biasanya adalah:
قرأ على فلان وانا اسمع(Dibacakan oleh seseorang dihadapan(guru ),dan saya mendengar)
 عليهقرأت (saya telah membacakan dihadapannya)
 او أخبرنا قراءة عليهحدثنا(telah menceritakan dan mengabarkan kepadaku secara pembacaan dihadapannya).[3]
3. .      Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipaun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya.Seperti:
أجزت لك أن تروي عنّي(Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku).
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebagai cara untuk meriwayatkan hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadits dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Adapun ulama yang membolehkan cara al-ijazah ini menetapan syarat bahwa sang guru harus benar-benar mengerti tentang hadits atau kita yang diijazahkan, dan naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya. Selain itu, guru yang memberikan ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadi Iyad membagi al-Ijazah menjadi 6 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan 1 macam lagi, sehingga menjadi 7 macam, yaitu :
a.      Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
b.      Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.
c.       Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir).
d.      Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid.
e.      Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
f.        Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kudengarkan”. Cara seperti ini dianggap batal.
g.      Bentuk ijazah al-mujaz seperti perkataan guru “Aku ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk seperti ini diperbolehkan.[4]
4. . Al Munawalah  
Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepada mu untuk diriwayatkan”.
Al munawalah mempunyai dua bentuk: 
1)      Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab nya yang telah ia riwayatkan atau naskah nya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada murid nya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al almunawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari guru nya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada murid nya untuk diriwayatkan dari nya. cara ini menurut Al Qadhi iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasa nya menggunakan redaksi: انبأنى, انبأنا “seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami).
2)      Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada murid nya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil pendengaran ku atau dari periwayatan ku” dan tidak mengatakan “riwayatkan lah dariku atau saya ijazahkan kepada mu. Menurut kebanyakan ulama al munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi انبأنى, انبأنا  “ seseorang telah memberikan kepada ku/kami) .[5]
            Lafad yang biasa digunakan ,ketika diberi ijazah juga,yaitu:
            هذا سماعي او رواتي عن فلان فاروه   (ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang,riwayatkanlah).
            Lafad munawalah yang tidak disertai ijazah,yaitu:
هذا سماعي او رواتي                    (ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku).[6]
5. Al Mukatabah 
 Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadist nya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapan nya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikan nya. 
Al mukatabah ada dua macam: 
1)      Al mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada murid nya disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan kepada mu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima. Contoh:    أجزت لك ما كتبته إلٌك, أجزت ما كتبت به إلٌك “ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepada mu” 
2)      Al mukatabah yang tidak dibarengi dengan al ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafi‟iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap tidak sah. Contoh:         قال حدثنا فلان “telah memberitakan seseorang kepada ku”.
6. Al I‟lam 
Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya
untuk meriwayatkan nya. sebagiab ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya. 
Contoh:    أعلمنى فلان قال حدثنا “seseorang telah memberitahukan kepada ku: “telah berkata kepada kami…” 
7. Al Wasiyah 
Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitab nya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara ibnu sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan nya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi     حدثنى فلان بكذا (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab kitab hadist dan tidak melalui cara al sama‟, al ijazah, ataupun al munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi‟I dan segolongan pengikut nya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatan nya melalui cara ini. Ibnu al Shalah menagtakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan nya bila diyakini kebenaran nya. 
Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti:   قرأت بخط فلان (saya telah membaca khath seseorang).[7]
B.Periwayatan Hadis
             Sebagaiman yang telah kita tulis diatas, bahwa al ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidak nya suatu hadist juga sangat tergantung pada nya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist.  Yakni sebagai berikut: 
            1. Islam  
            Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi harus muslim. Dan menurut ijma‟, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalh ini bias kita bandingkan dengan firman Allah: 
 ٌا أٌها الذٌن امنوا إن جاءكم فاسق بنٌإ  فتبٌنوا أن تصٌبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمٌن Artinya: Hai orang orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatan mu itu. (Al Hujurat 49: 6) 
            2. Baligh 
            Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah:  
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب عن المجنون المغلوب على عقله حتى ٌفٌق و عن النائم حتى  ٌستٌقظ و عن الصبً حتى ٌحتلم Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syari‟at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasi‟) 
            3.Adalah 
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran nya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian
dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadiannya. 
            4. Dhabit 
            Dhabit ialah: 
 تٌقظ الراوى حٌن تحمله و فهمه لما سمعه و حفظه لذالك من وقت التحمل إلى وقت الاداء “teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya” 
            Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I‟tibar terhadap berita berita nya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. 
            Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat syarat yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist hadist yang lebih kuat ayat ayat Al Qur‟an.[8]


[1] Munzier Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:195-199
[2]M. Ajjaj Al-Khatib,Ushul Al-hadis Ulumuhu wa Mustholauhu,Dar Al-Fikri,1981,hal:234
[3] Badri Khaeruman,Ulum Al-hadis,Pustaka Setia,Bandung,2010,hal:85
[4] Munzier Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:200-201
[5]Munzier Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:201-202
[6]Badri Khaeruman,Ulum Al-hadis,Pustaka Setia,Bandung,2010,hal:86
[7] Munzier Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:202-204
[8] Munzier Suparta,Ilmu Hadis,PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002,hal:204-206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar