"HADITS DITINJAU DARI SEGI
KUANTITASNYA"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber yang kedua
setelah al-qur’an untuk memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa
yang tidak diuraikan dalam Al-Quran akan dijelaskan secara gamblang dalam
sebuah hadits. Karena pada dasarnya, hadits merupakan perkataan,
ajaran, dan perbuatan Rasulullah.
Namun karena pada zaman Nabi tidak diperbolehkan
menulis selain ayat-ayat Al Qur’an dan juga begitu banyak hadits yang
dikhawatirkan merupakan hadits palsu, maka bermunculanlah penelitian-penelitian
tentang kajian ilmu hadits. Salah satunya adalah melihat hadits dari banyak
sedikitnya orang yang meriwayatkanya.
Kita sebagai seorang muslim tidak boleh menyakini bahwa semua hadits adalah shahih dan tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka, dalam menentukan status suatu hadits dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Berikut akan dibahas pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya.
Kita sebagai seorang muslim tidak boleh menyakini bahwa semua hadits adalah shahih dan tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka, dalam menentukan status suatu hadits dapat lebih dipertimbangkan jika mengetahui banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Berikut akan dibahas pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagimana hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Bagaimana pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
3. Bagaimana hukum-hukum hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang
ditinjau dari segi kuantitasnya. Maksud tinjauan dari segi kuantitasnya disini
adalah dengan menulusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber suatu hadits.
Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir,
masyhur, dan ahad. Dan ada juga yang membaginya menjadi dua bagian yakni hadits
mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri yakni tidak termasuk bagian dari hadits ahad pendapat ini di anut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H). Sedang pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits ahad. Dan kami sebagai pemakalah akan menyajikan pendapat kedua dari para ulama yang membagi menjadi dua bagian, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Pendapat pertama menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri yakni tidak termasuk bagian dari hadits ahad pendapat ini di anut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H). Sedang pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits ahad. Dan kami sebagai pemakalah akan menyajikan pendapat kedua dari para ulama yang membagi menjadi dua bagian, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
B.
Pembagian Hadits dari Segi Kuantitasnya
1.
Hadits Mutawatir
a.
Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimology
mutawatir berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi yang
berarti beriringan antara satu dengan yang lainya tanpa ada jarak.
Sedangkan menurut terminology mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan
mustahil sepakat untuk berdusta.
menurut beberapa pendapat :
menurut beberapa pendapat :
1)
Menurut
al-baghdadi
Hadist mutawatir adalah suatu hadist yang di riwayatkan oleh
sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil
mendustakan kesaksiannya.
2)
Ibn
shalah
Hadist mutawatir adalah suatu ungkapan tentang berita yang
diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya
dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad
sampai akhirnya.[1]
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1)
Banyaknya
jumlah perawi
Adapun tentang jumlah bilangan perawi,para ulama berbeda pendapat:
a) Abu thayyib menetapakan, minimal
4 orang. Alasannya, dengan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan
saksi yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya, perkara penuduhan zina.
b) Sebagian golongan syafi’i menetapkan, minimal 5 orang. Alasannya,
dengan mengqiyaskan terhadap jumlah 5 orang nabi yang bergelar “ulul ‘azmi”
yakni:[2]
(1) Nuh as.
(2) Ibrahim as.
(3) Musa as.
(4) Isa as.
(5) Muhammad saw.
c) Sebagiaan ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang. Alasannya,
dengan mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut dalam al-quran surat
al-anfal : 65
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْن
Artinya:
. .
.jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. . .
d) Sebagian ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang
menyatakan minimal 10 orang, 12 orang, 70 orang dan lain lain.
2)
Ada
keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah masing-masing. Dengandemikian, bila
jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah
lainnya juga harus sekitar 10 orang. Tetapi, bila di thabaqah pertama misalnya
10 orang, lalu di thabaqah kedua 12 orang, kemudian di thabaqah lainnya sekitar
2 orang saja, ataupun sebaliknya, maka hadits yang demikian ini, tidaklah
termasuk mutawatir.
3)
Berdasarkan
tanggapan panca indra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindera, artinya bahwa berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar
merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Dengan demikian, bila
berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu
peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil lain, maka tidak dapat
dikatakan hadits mutawatir[3].
c.
Macam-Macam Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yakni:
1)
Hadits
mutawatir lafdzy
Yakni, hadits mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan makna
yang sama, serta kandungan hukum yang sama pula.
Contoh:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ
بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ
لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap untuk menduduki
tempatnya di api neraka
Menurut
al-bazar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.an-nawawy menyatakan,
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2)
Hadits
mutawatir ma’nawy
Adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk
redaksinya.
Contoh hadits ini adalah hadits yang
menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan
oleh kurang lebih dari seratus perawi.
Berikut ini beberapa contoh hadits mutawatir maknawi tentang mengangkat tangan pada waktu berdoa, yaitu:
ما ر فع رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم يديه حتىّ رءوي بياض ابطيه بشئ من دعا ئه الاّفى الاستسقاء (متفق عليه)
Artinya: “Rasulullah Saw pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya putih kecuali pada waktu berdoa memohon hujan.”
قال عمر ابن ألخطّاب: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: اذارفع يديه فى الدّ عاء لم يحطّهما حتّى يمسح بهما وجهه. (رواه الترمذى)
Artinya: “Umar bin Khattab berkata, “Rasululloh bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya itu ke mukanya” (H.R Tirmidzi)[4]
Kedua hadits tersebut diatas berbeda redaksi dan perincian maknanya, tapi mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo’a.
Berikut ini beberapa contoh hadits mutawatir maknawi tentang mengangkat tangan pada waktu berdoa, yaitu:
ما ر فع رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم يديه حتىّ رءوي بياض ابطيه بشئ من دعا ئه الاّفى الاستسقاء (متفق عليه)
Artinya: “Rasulullah Saw pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya putih kecuali pada waktu berdoa memohon hujan.”
قال عمر ابن ألخطّاب: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: اذارفع يديه فى الدّ عاء لم يحطّهما حتّى يمسح بهما وجهه. (رواه الترمذى)
Artinya: “Umar bin Khattab berkata, “Rasululloh bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya itu ke mukanya” (H.R Tirmidzi)[4]
Kedua hadits tersebut diatas berbeda redaksi dan perincian maknanya, tapi mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo’a.
3)
Hadits
mutawatir ‘amaly
Hadits Mutawatir
‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir ‘amali.
d.
hukum hadits mutawatir
Kebanyakan
ulama berpendapat, bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadits mutawatir, sama
kedudukannya dengan keyakinan yang di peroleh dengan mata atau penyaksian
sendiri. Karenanya, hadits mutawatir memfaidahkan ilmu dharury (pengetahuan
yang harus diterima) hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (keyakinan
yang kuat,yang tidak diragukan lagi).oleh karena itu, petunjuk dari hadits
mutawatir wajib diamalkan, sebagaimana wajibnya mengamalkan petunjuk al-quran.[5]
Dengan
demikian, maka hadits mutawatir dari segi wurud dan kandungannya, berkedudukan
sama dengan al-quran. Karenanya, mengingkari hadits mutawatir,sama dengan
mengingkari al-quran. Dan oarang yang yang mengingkari al-quran, di hukumkan
kafir, atau paling sedikit sebagai orang yang mulhid.
Karena hadits
mutawatir berkedudukan sama dengan al-quran, maka petunjuk dari hadits
mutawatir dapat di gunakan sebagai dalil yang berkenaan dengan aqidah, di
samping untuk dalil tentang masalah hukum, dan sebagainya.[6]
2.
Hadits Ahad
a.
Pengertian Hadist Ahad
Secara etimology kata
ahad atau al-wahid mempunyai arti satu, maka hadits ahad bisa diartikan sebagai
hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.
Menurut
istilah, hadits ahad berarti hadits yang di riwayatkan oleh orang-seorang, atau
dua orang, atau lebih, akan tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
Dengan kata
lain, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai kepada
tingkat jumlah mutawatir.
b.
Macam-Macam Hadits Ahad
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan pada bab yang lalu,
hadits ahad dalam hal ini dibagi dua. Yakni: hadits masyhur dan hadits ghairu
masyhur.
1)
Hadits
Masyhur
a)
Pengertian
hadits masyhur
yakni
sesuatu yang sudah tersebar atau sudah populer.
Dari
segi istilah:
(1)
Menurut
ibnu hajar al-asqalany, hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh
lebih dari dua orang perawi tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
(2)
Menurut
sebagian ulama, hadits masyhur adalah hadits yang pada thabaqah (tingkatan)
perawi pertama dan kedua, terdiri dari orang-seoarang, kemudian pada thabaqah
sesudahnya, barulah tersebar luas, yang disampaikan oleh orang banyak yang
mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
(3)
Menurut
imam ahmad, bahwa hadits masyhur adalah hadits yang populer di kalangan tabiin
ataupun tabi’ tabiin.hadits yang populer hanya pada thabaqah setelah tabi’
tabiin,tidaklah termasuk hadits masyhur.
(4)
Menurut
sebagian ulama ushul, hadits masyhur adalah hadits yang pada thabaqah pertama
(tingkat sahabat) di riwayatkan oleh orang banyak tetapi belum sampai ke
tingkat mutawatir, kemudian pada thabaqah-thabaqah berikutnya diriwayatkan oleh
orang banyak yang jumlahnya menyamai dengan periwayatan mutawatir.
(5)
Sebagian
ulama lagi ada yang menyatakan, bahwa hadits masyhur adalah hadits yang populer
dengan tidak mensyaratkan di thabaqah yang mana terjadi populernya itu, bahkan
dapat saja kepopulerannya itu terjadi di
kalangan ulama bukan perawi hadits ataupun dikalangan awam.[7]
b)
Macam-Macam
Hadits Masyhur
Apabila
dilihat dari segi di kalangan mana hadits tersebut menjadi masyhur (populer),
maka hadits masyhur dapat di bedakan kepada:
(1)
Masyhur di kalangan
ulama ahli hadits, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang awam seperti:
اَلْمُسْلِمُونَ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ
Artinya: “Orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya”.
اَلْمُسْلِمُونَ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ
Artinya: “Orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya”.
(2)
Masyhur di kalangan ulama ahli fiqih, seperti:
نهى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الغرر
Artinya: “Rasulullah saw melarang jual beli yang di dalamnya terdapat unsure tipu daya”.
نهى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الغرر
Artinya: “Rasulullah saw melarang jual beli yang di dalamnya terdapat unsure tipu daya”.
(3)
Masyhur di kalangan ulama ahli ushul fiqih,
seperti:
اذاحكم احاكم ثمّ اجتهد فا صا ب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله اجر
Artinya: “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihad itu salah, maka dia memperoleh suatu pahala (pahala ijtihad)”.
اذاحكم احاكم ثمّ اجتهد فا صا ب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله اجر
Artinya: “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihad itu salah, maka dia memperoleh suatu pahala (pahala ijtihad)”.
(4)
Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
كنت كنز مخفيّا فأحببت أن أعرف فخلقت اخلق فبي عرفونى
Artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku,”
كنت كنز مخفيّا فأحببت أن أعرف فخلقت اخلق فبي عرفونى
Artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku,”
(5)
Masyhur dikalangan masyarakat umum, misalnya:
من الشيطان العجلة
Artinya: “Tergesa-gesa adalah sebagian dari perbuatan syaitan”.
من الشيطان العجلة
Artinya: “Tergesa-gesa adalah sebagian dari perbuatan syaitan”.
(6)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang
kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan
bidangnya masing-masing.
c)
Kualitas
Hadits Masyhur
Berikut
dikemukakan hadits masyhur dangan melihat kualitasnya;
(1)
hadits masyhur yang berkualitas shahih,
maksudnya adalah hadits masyhur yang telah mencapai
ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.
???????????
Artinya:
Barang
siapa yang pergi ke jum’at, hendaklah terlebih dahulu mandi.
(2)
hadits
masyhur yang berkualitas hasan (li ghairih), maksudnya hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad
maupun matannya.
?????????????
Artinya:
Menuntut
ilmu itu wajib bagi muslim.
(3)
Contoh
hadits masyhur yang berkualitas masyhur dha’if, maksudnya hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada
sanad maupun pada matannya.
?????????
Artinya:
...dan
sesungguhnya ulama’ itu adalah pewaris nabi...
2)
Hadits
Ghairu Masyhur
Hadits
ghairu masyhur di bagi menjadi 2 macam yaitu:
a)
Hadits
Aziz
Secara bahasa ‘aziz bisa berasal dari kata ‘Azza- ya’izzu yang berarti
sedikit atau jarang adanya, dan bisa berasal dari kata ‘azza- ya’azzu yang
berarti kuat. Sedangkan menurut istilah, hadits ‘aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada
satu thabaqah saja dalam sanadnya. Contohnya: :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ(صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ(صحيح البخارى)
Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya”.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ(صحيح البخاري)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ(صحيح البخارى)
Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya”.
Hadits ini diterima oleh Anas bin Malik dan Abi Huraihah (thabaqah
pertama), dari Anas kemudian diterima oleh Qatadah dan ‘Abd Al Aziz (thabaqah
kedua). Dari Qatadah diterima oleh Husain Al Mu’allim dan Syu’bah, sedangkan
dari ‘Abd Al Aziz diriwayatkan oleh ‘Abd Al Warist dan Ismail Ibn Ulaiyah
(thabaqah ketiga). Pada thabaqah keempat, hadits ini diterima masing-masing
oleh Yahya Ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari Syu’bah, Zubair ibn Harb dari
Ismail, dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al Warits.[8]
b)
Hadits
Gharib
Hadits gharib menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Sedangkan
secara istilah hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Selanjutnya,
hadits gharib biasa juga disebut dengan hadits fard. yakni: tunggal atau satu.
Keghariban suatu hadits bukan hanya berkemungkinan terletak pada
sanad (perawi) saja, tetapi juga pada matan. bila dinyatakan ????/ maksudnya
ialah bahwa hadits itu gharib dari segi sanadnya (perawinya), sedang bila
dinyatakan dengan istilah ???? maksudnya ialah bahwa matan hadits tersebut
memiliki keghariban, karena ada lafadz yang sulit atau tidak populer, atau
tidak dimuat di sanad-sanad yang lain.
Kemungkinan
keghariban hadits hadits:
(1)
Hadits
yang gharib pada matan, dapat berupa:
(a)
Seluruh
matan hadits tersebut tidak di kenal oleh para ulama hadits.
(b)
Sebagian
lafadz dari matan hadits itusulit dipahami karena dalam masyarakat lafadz itu
tidak populer digunakan.
(c)
Sebagian
lafadz dari hadits tersebut tidak termuat dalam matan yang semakna di
sanad-sanad lainnya.
(2)
hadits
yang gharib pada sanad
adapun hadits yang gharib pada sanadnya, ulama hadits membaginya
kepada dua macam:
(a) Hadits gharib mutlak
adalah hadits yang
gharabahnya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad, pokok sanad adalah
ujung sanad yaitu seorang sahabat.Contoh hadits gharib :
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya”.
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh banyak imam hadits termasuk Bukhari dan Muslim, namun pada
tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi, yaitu Umar bin
Khattab, dan pada tingkatan kedua juga hanya diriwayatkan oleh satu tabi’in,
yaitu Al Qamah. Dengan demikian, hadits ini dipandang sebagai hadits gharib.
(b) hadist gharib nisbi
(b) hadist gharib nisbi
adalah hadits yang
gharabahnya (perawinya satu orang) beradadi tengah sanad. Peneyendirian seorang
rawi seperti itu biasanya terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan
(kesiqahan) perawi atau mengenai tempat tinggal/kota tertentu.
Contoh hadis ghorib
nisbi mengenai ketsiqahan rawi:
كان صلّى الله عليه وسلّم يقرأ فى الأضحى والفطر ب (ق) واقتربت السّا عة وانشقّ القمر
Artinya: “Dikabarkan bahwa Rasulullah SAW pada hari raya kurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf dan Surat Al Qamar”
كان صلّى الله عليه وسلّم يقرأ فى الأضحى والفطر ب (ق) واقتربت السّا عة وانشقّ القمر
Artinya: “Dikabarkan bahwa Rasulullah SAW pada hari raya kurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf dan Surat Al Qamar”
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Muslim, Malik, Dumrah bin Said, Ubaidillah, Waqid Al-Laisi
yang menerima langsung dari Rasulullah. Pada rentetan sanadnya, Dumrah bin Said
disifati sebagai muslim yang tsiqah. Tidak seorangpun dari perawi-perawi tsiqah
yang meriwayatkan hadits tersebut selain dia sendiri.
Contoh dari hadits
ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أُمِرْنَا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّر
Artinya: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kamu agar kita membaca Al Fatihah dan surat yang mudah dari Al Qur’an”.
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أُمِرْنَا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّر
Artinya: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kamu agar kita membaca Al Fatihah dan surat yang mudah dari Al Qur’an”.
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said.
Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari
kota-kota lain.
c.
Hukum Hadits Ahad
Hadits ahad
yang maqbul (antara lain yang bersifat shahih), apabila berhubungan dengan
masalah hukum, maka menurut jumhur ulama’ wajib diamalkan. Untuk masalah yang
berkaitan dengan soal aqidah, maka ulama’ berselisih pendapat ada yang
mengatakan bahwa hadits ahad dapat saja di gunakan sebagai dalil untuk
menetapkan masalah aqidah.sebagian ulama’ lain berpendapat walaupun hadits ahad
memenuhi syarat tetap tidak dapat dijadikan landasan (dalil) pokok terhadap
penetapan aqidah.alasannya, hadits ahad berstatus menfaidahkan dhanny. Sedang
soal aqidah adalah soal keyakinan. Maka yang yakin tak dapat didasarkan dengan
petunjuk yang masih dhanny atau dugaan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Mengetahui hadits dari segi
kuantitasnya sangatlah penting untuk lebih dapat mempertimbangkan status suatu
hadits.
2. Hadits dilihat dari segi
kuantitasnya di bagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
3. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
4. Bagi siapa yang telah menyakini akan kemutawatiran suatu hadits, wajib
baginya mempercayai dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya.
5. Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
mutawatir.Hadits ahad dibagi menjadi tiga bagian yaitu hadits masyhur, ‘aziz,
dan gharib.
6. Hadits Masyhur Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih
dan tidak sampai pada batasan mutawatir.
7. Hadits Aziz adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
8. Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.
9. Hadits ahad (baik masyhur, ‘aziz, maupun gharib) dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta,munzier.1993.ilmu hadits.jakarta:pt
grafindo persada
Abdurrahman.2000.pergeseran pemikiran hadits.jakarta:paramadina
Majid khon,abdul.2008.ulumul hadits.jakarta:amzah
Asmail,syuhudi.pengantar ilmu hadits.bandung:angkasa
[1]
Abdurrahman.2000.pergeseran pemikiran hadits.jakarta:paramadina hal 169
[2]
Ismail,syuhudi.pengantar ilmu hadits.bandung:angkasa hal136
[3]
Suparta,munzier.1993.ilmu hadits.jakarta:pt raja grafindo persada hal 97
[4] Majid
khon,abdul.2008.ulumul hadits.jakarta:amzah hal 131
[5]
Ismail,syuhudi.pengantar ilmu hadits.bandung:angkasa hal 139-138
[6] Majid
khon,abdul.2008.ulumul hadits.jakarta:amzah hal 132
[7]
Ismail,syuhudi.pengantar ilmu hadits.bandung:angkasa hal 141-142
[8] Majid
khon,abdul.2008.ulumul hadits.jakarta:amzah hal 136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar