PERLINDUNGAN ANAK YATIM
BAB I
A. PENDAHULUAN
Dalam perspektif tuntunan agama islam, sebenarnya yang
harus mencukupi kebutuhan para janda dan anak-anaknya adalah penguasa. Tapi
karena Negara kita tidak berdasarkan syariat islam, tidak jelas siapa
sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap
para janda dan anak yatim. Betul agama sangat menaganjurkan agar memuliakan
anak yatim, mereka yang kehilangan ayah merupakan orang-orang yang harus
diperhatikan dan di utamakan, Rasulullah
sangat manganjurkan membantu dan menolong anak yatim. Dan beliau memang sangat
menyayangi anak yatim, yang di tinggalkan aayahnya dalam usia belia. Banyak
sekali ayat yang memberikan pehatian dan keutamaan kepada anak yatim.Allah menyuruh
kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik seperti saudara sendiri, dan
bahkan lebih mengutamakan mereka. Sedangkan dalam ayat lain, seperti yang
difirmankan allah dalam surah Al baqarah ayat 220, kita dilarang memprlakukan
anak yatim secara sewenang. Berkah anak yatim Allah berikan kepada keluarga
itu, sehingga mereka berhasil dan menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah.
Perjuangan hidup memang membutuhkan ketabahan, kegigihan, dan sikap positif,
karena biasanya perjuangan itu memakan waktu yang lama. Siakap sabar dan berbaik
sangka juga sangat penting.
B.RUMUSAN MASALAH
1. Surat Al-Baqarah ayat 220?
2. Surat An-Nisa’ ayat 2 dan 6?
3. Surat Al-Maa’uun ayat 1 dan 2?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Surat Al-Baqarah Ayat 220
a. Ayat dan terjemahan suratt Al baqarah
ayat 220
فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ
إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya:
“tentang
dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak
yatim. Katakanlah,”memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu
mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kamu. Alloh mengetaui
orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika allah
menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan padamu. Sungguh, alloh maha
perkasa, maha bijaksana.
b.
Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu
kaum muslimin mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada nabi muhammad saw
tentang berperang pada bulan haram, maka pada ayat ini mereka menanyakan pula
tentang hukum minum khamar dan berjudi, dan tentang pengurusan anak-anak yatim.
c.
Asbabun nuzul
Dalam ayat ini melanjutkan anak selanjutnya, alloh swt sekaligus
menjawab pertanyaan anak-anak yatim . anak-anak yatim yaitu anak-anak yang
tidak berpabak lagi, karena sudah meninggal.
Timbulah
pertanyaan mengenai anak-anak yatim ini pada masa rosululloh swt dari
orang-orang yang selama ini hidup bersama anak-anak yatim, bercampur hartanya dengan harta mereka, serta
sama-sama makan dan minum dalam satu rumah. Dengan jalan begitu, terpeliharalah
anak-anak yatim, baik makan maupun kegiatanya, tetapi kemudian turunlah ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan
masuk kedalam api neraka ( an-nisa’/4: 10)[1]
Dengan turunya ayat itu, maka mereka ragu-ragu, kalau
perbuatanya terhadap anak-anak yatim itu. Ayat 220 ini menjelaskan bahwa yang
pokok dalam hal ini adalah pemeliharaan yang baik terhadap anak-anak yatim,
jangan sampai mereka terlantar serta tak terjamin ketentraman dan
kesejahteraannya. Semua macam pemeliharaan dan penjagaan anak-anak yatim adalah
merupakan kebaikan. Andai kata mereka di bawa tinggal serumah itupun juga baik,
sebab dengan tinggal bersam-sama sudah merupakan hidup bersaudara. Seolah-olah
anak yatim itu merupakan saudara kecil, dipelihara kesehatnnnya seperti
memelihara saudara, atau anak orang yang memeliharanya, asal ada niat untuk
keselamatan mereka dan tidak untuk merugikan mereka. Perkara niat seseorang dan
apa yang di simpan di dalam hatinya, hanya Allah lah yang tahu, sebab Allah
mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat. Banyak terjadi, orang
mengatakan niat baik memlihara anak yatim, tetapi kenyataanya dia menyiakannya
dan menyiksanya.[2]
2.
Tafsir jalalain
{فِى} أمر {الدنيا والأخرة} فتأخذون بالأصلح لكم فيهما
{وَيَسْئَلُونَك عَنِ اليتاماى} وما يلقونه من الحرج في شأنهم فإن واكلوهم يأثموا
وإن عزلوا ما لهم من أموالهم وصنعوا لهم طعاماً وحدهم فَحَرَج {قُلْ إِصْلاَحٌ
لَّهُمْ} في أموالهم بتنميتها ومداخلتكم {خَيْرٌ} من ترك ذلك {وَإِن
تُخَالِطُوهُمْ} أي تخالطوا نفقتكم بنفقتهم {فَإِخوَانُكُمْ} أي فهم إخوانكم في
الدين ومن شأن الأخ أن يخالط أخاه أي فلكم ذلك {والله يَعْلَمُ المفسد} لأموالهم
بمخالطته {مِنَ المصلح} بها فيجازي كلاًّ منهما {وَلَوْ شَاءَ الله لأَعْنَتَكُمْ}
لضيق عليكم بتحريم المخالطة {إِنَّ الله عَزِيزٌ} غالب على أمره {حَكِيمٌ} في صنعه
.
"Mengurus
urusan mereka secara patut) misal. (Yaitu tentang) urusan (dunia dan akhirat)
hingga kamu dapat memungut mana-mana yang lebih baik untukmu pada keduanya.
(Dan mereka menanyakan kepadamu tentang anak-anak yatim) serta
kesulitan-kesulitan yang mereka temui dalam urusan mereka. Jika mereka
menyatukan harta mereka dengan harta anak-anak yatim, mereka merasa berdosa dan
jika mereka pisahkan harta mereka dan dibuatkan makanan bagi mereka secara
terpisah, maka mengalami kerepotan. (Katakanlah nya mengenai campur-tangan
dalam upaya mengembangkan harta mereka (adalah lebih baik) dari pada membiarkannya.
(Dan jika kami mencampuriurusan mereka) , maksudnya kamu campurkan
pengeluaran kamu dengan pengeluaran mereka, (maka mereka adalah saudaramu)
maksudnya mereka itu adalah saudara-saudara seagama dan telah menjadi kelaziman
bagi seorang saudara untuk mencampurkan hartanya pada harta saudaranya. Tegasnya
silakan melakukannya karena tak ada salahnya (Dan Allah mengetahui orang yang
membuat kerusakan) terhadap harta anak-anak yatim itu ketika mencampurkan
hartanya kepada harta mereka (dari orang yang berbuat kebaikan) dengannya,
hingga masing-masing akan mendapat balasan yang setimpal (sekiranya Allah
menghendaki, tentulah Dia akan mempersulitmu) dengan melarang mencampurkan
harta, (sesungguhnya Allah Maha Kuasa) atas segala persoalan (lagi Maha
Bijaksana) dalam segala tindakan dan perbuatan.[3]
3.
Surat An-Nisa’ Ayat 2 dan 6
a.
Ayat dan terjemahan surat An-Nisa’ ayat 2
واتوا
اليتمى اموالهم ولا تتبذلوا الخبيث بالطيب صلى ولا تأكلوا اموالهم الي
اموالكم قلي انه كان حبا كبيرا
Artinya:
“Dan
berikanlah kepada anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu
menukar yang buruk dengan yang baik dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu
adalah dosa yang besar. (an nisa’ ayat 2)
b. Mufrodat:
واتوا اليتمي : dan
berikanlah kepada anak yatim
اموالهم :
harta mereka
ولا تتبذلوا :
janganlah kamu menukar
الخبيث :
yang buruk
بالطيب :
dengan yang baik
ولا تأكلوا :
dan janganlah kamu makan
اموالهم :
harta mereka
الي اموالكم :
bersama hartamu
انه كان حبا كبيرا : Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu
adalah dosa yang besar
Kosa
kata hub (an nisa’ ayat 2)
Kata
hub merupakan bentuk masdar dari kata kerja haba-yahubu yang artinya: berdosa.
Dengan demikian, hub dapat diartikan sebagai dosa, kebutuhan, kahinaan dan
kelemahan. Hakikat hub adalah kebutuhan yang memotifasi seseorang yang
membutuhkan sesuatu untuk melakukan tindakan yang berdosa. Kata hub bias
berarti “menghalau unta”. Dosa dikatakan hub karena ia harus dihalau dan
dijauhkan. Dalam kaitan dengan ayat ini, hub dihubungkan dengan perbuatan
memakan harta anak yatim tanpa cara atau sebab yang dapat dinilai sah atau
mengganti harta itu dengan yang lebih rendah kualitasnya. Perbuatan demikian
sering dilakukan oleh mereka yang dipercaya untuk menjaga atau mengelola harta
anak yatim. Tindakan yang dianggap dosa itu diungkapkan dengan kata takhulu
yang artinya “kamu semua makan.” Kata” makan merupakan ungkapan yang dinilai
sangat penting, karena hal itu merupakan kebutuhan paling pokok dan mendesak
bagi manusia. Logikanya, bila kebutuhan yang sangat mendesak saja dilarang bila
tidak disertai dengan sebab yang dapat dibenarkan, apalagi kalau pengambilan
atau penukaran itu bukan karena sebab yang tidak mendesak.
d.
Munasabah
Setelah
ada perintah agar manusia selalu bertakwa kepada-Nya dengan memelihara dan
melaksanakan segala apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya, serta menghubungkan silaturahmi, maka perintah dalam ayat ini dan
ayat berikutnya agar memelihara dan menjaga anak yatim.
e.
Tafsir
ayat
1.
Tafsir DEPAG RI
Ayat ini ditujukan kepada para penerima
amanah agar memelihara anak yatim dan hartanya. Anak yatim ialah setiap anak
yang ayahnya telah meninggal dunia, dan masih kecil atau belum mencapai usia
deswasa.
Orang yang diserahi amanat untuk menjaga
harta anak yatim haruslah memelihara harta tersebut dengan cara yang baik.
Tidak boleh ia mencampurkan harta anak yatim itu dengan hartanya sendiri,
sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana harta anak yatim dan mana harta
dirinya sendiri. Juga tidak dibenarkan ia memakan harta tersebut untuk dirinya
sendiri apabila ia dalam keadaan mampu apabila hal tersebut dilakukan juga maka
berarti ia telah memakan harta anak yatim dengan jalan yang tak benar. Dalam
keadaan ini ia akan mendapat dosa yang besar. Apabila anak yatim itu telah
mncapai umur dewasa dan cerdik mampu mengatur dan menggunakan harta, hendaklah
hartanya itu di serahkan kepadanya, sebagaimana telah di terangkan pada ayat 5
surat ini.
Para mufassir dalam menafsirkan perkataan
“anak yatim” dalam ayat terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menafsirkan
bahwa yang dimaksud “anak yatim” di sini ialah yang belum baligh, sebagai
pendahulu ayat 5, sejalan dengan penafsiran yang di kemukakan di atas. Pendapat
kedua menafsirkan bahwa yang di maksud dengan “anak yatim” di sini ialah yang
sudah baligh sejalan dengan sebab turunnya ayat ini, riwayat ibnu Abi Hatim
dari Sa’id bin Jubair bahwa seorang laki-laki dari suku banu gatafan menyimpan
harta yang banyak milik anak yatim, yaitu saudara kandungnya. Ketika anak tersebut
baligh ia meminta hartanya itu, tetapi pamannya tidak mau memberikannya. Hal
ini di adukan kepada Nabi Muhammad SAW maka turunlah ayat ini.
Assa’labi meriwayatkan dari ibnu muqatil da al kalbi bahwa paman
anak itu tatkala mendengar ayat ini berkata, “kami taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, kami berlindung kepada Allah dari dosa besar.[4]
c.
Ayat dan terjemahan surat An-Nisa’ ayat 6
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا
النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ
كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
Artinya: “Dan
ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah harta mereka kepadanya. Dan janganlah kamu memkannya (harta anak
yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa – gesa
(menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah dia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia
makan harta itu kepada mereka, maka hendaknya kamu adakan saksi-saksi. Dan
cukuplah Allah sebagai pengawas”.
d.
Munasabah
Ayat ini menerangkan tentang syarat waktu penyerahan
harta anak yatim.
e.
Tafsir ayat
Sebelum harta
diserahkan kepada anak yatim, apabila mereka telah balig dan mampu dalam
menggunakan harta maka terlebih dahulu kepada mereka diberikan ujian. Apakah
mereka benar-benar ia telah dapat memelihara ia telah dapat memelihara dan
menggunakan hartanya denga baik, sebagaiana dipahami oleh Mazhab Syafi’i.
Mazhab Hanafi mewajibkan wali meyerahkan
harta pada umur dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 2 tahun
walaupun keadaan tidak cerdas.
Janganlah para
wali ikut mengambil atau memakan harta anak yatim secara berlebihan. Apabila
wali termasuk orang yang mampu hendaklah ia menahan diri agar tidak ikut
memakan harta anak yatim tersebut. Tetapi apabila wali itu memang orang yag
dalam keadaan kekurangan, maka boleh ia ikut memakannya secara baik dan tidak
melampaui batas.
Apabila masa
penyerahan di atas telah tiba, hendaklah penyerahan itu dilakukan di hadapa dua
orang saksi untuk menghindarkan adanya perselisihan di kemudian hari. Allah
selalu menyaksikan dan mengawasi apa yang dikerjakan oleh manusia. Tidak ada
hal yang tersembunyi bagi-Nya baik di bumi maupun di langit.[5]
4. Surat Al-Maa’uun Ayat 1 dan 2
a. Al-Maa’uun ayat 1
ارايت الذي يكذب الدين
“tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?”
b. Al-Maa’uun ayat 2
فذا لك الذي يدع اليتيم
Itulah
orang yang menghardik anak yatim
Mufrodat
أَرَأَيْتَ: “Apakah kamu tahu”لدِّينِ“ balasan dan perhitungan “
يكذب الدين (orang) yang mendustakan agama?
الذي يدع اليتيم orang yang menghardik anak yatim
Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta’ala berfirman : “Apakah kamu tahu?, hai Muhammad, orang
yang mendustan Adf-Diin, yaitu hari kebangkitan serta pemberian balasan dan
pahala?”
(فذا لك الذي يدع اليتيم ) “itulah orang yang menghardik
anak yatim”. Yakni, orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim dan
edzolimi haknya, tidak memberinya makan serta tidak juga berbuat baik
kepadanya. Yang demikian itu sama seperti firmanNya كلا بل تكرمون اليتيم “sekali
kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.(QS AL-Fajr
: 17)[6]
Tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya
(1)Dalam ayat ini, Allah menghadapkan pertanyaankepada Nabi Muhammad,
‘’Apakah engkau mengetahuiorang yang mendustakan agama, dan yang dimaksud
dengan orang yang mendustakan agama?’’ Pertanyaan ini di jawab pada ayat-ayat berikut.
(2) Allah lalu menjelaskan bahwa sebagian dari sifat-sifat orang yang
mendustakan agama adalah orang yang menolak atau membentak anak-anak yatim yang
datang kepadanya untuk memohon belas kasihannya demikebutuhan hidupnya.
Penlakannya itu sebagai penghinaan dan takabbur terhadap anak-anak yatim itu.
Tafsir fi Zhilalil qur’an XII
Surat ini dimulai dengan pertanyaan yang dihadapkan kepada setiap
orang yang dapat berfikir. ‘’ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” dan
orang yang dapat mendengar pertanyaan ini untuk mengetahui kemana arah isyarat
ini dan kepada siapa ia di tujukan?. Untuk mengetahui siapa gerangan orang yang
mendustakan agama dan orang yang ditetapkan oleh Al-Qur’an sebagai pendusta
agama, maka jawabannya ialah , ‘’ itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin.
Boleh
jadi hal ini sebagai sesuatu yang mengejutkan bila dibandingkan definisi iman
secara tradisional. Akan tetapi inilah inti persoalan dan hakikatnya. Bahwa
seorang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim dengan
keras, yakni menghina anak yatim dan menyakitinya. Kalau hakikat pembenaran
agama itu sudah mantap di dalam hatinyaniscaya dia tidak akan membiarkan
anak-anak yatim[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa
dalam memelihara anak yatim itu sangatlah berat tetapi sangat besar sekali
pahala yang akan kita dapatkan, Allah memerintahkan kita untuk menyayangi
mereka, memperlakukan mereka dengan baik
seperti saudara sendiri dan bahkan lebih mengutamakan mereka. Kita dilarang
memperlakukan anak yatim secara sewenang- wenang .
.
DAFTAR
PUSTAKA
DEPAG.2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta :
CV.DUTA GRAFIKA
Al Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Katsir. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Sayid Qutb,2012.Tafsir fi Zhilalil qur’an XII. :
Gema Insani
Jalaluddin
Muhammad ibnu Ahmad Almahalli, Syaikh Al-Mutabahhar Jalaluddin Abdur Rahman
ibnu Abi Bakr As-Suyuthi. Tafsirul-Qur’anil-’Adziim, Surabaya : Darul
Ulum
[1] DEPAG.2009.
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta : CV.DUTA GRAFIKA
[2] DEPAG.2009.
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta : CV.DUTA GRAFIKA. hal
[3]Jalaluddin
Muhammad ibnu Ahmad Almahalli, Syaikh Al-Mutabahhar Jalaluddin Abdur Rahman
ibnu Abi Bakr As-Suyuthi. Tafsirul-Qur’anil-’Adziim, Surabaya : Darul
Ulum. Juz 1 hal 33
[4]DEPAG.2009.
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta : CV.DUTA GRAFIKA. hal
[5] DEPAG.2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta :
CV.DUTA GRAFIKA. hal
[6] Al Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Katsir. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Hal 552
Tidak ada komentar:
Posting Komentar